Wonosobo, 17/02/2013 Si Pitung adalah tokoh legendaris dan pahlawan dalam masyarakat Betawi di Jakarta. Ia dipercaya sebagai pesilat unggul yang saleh dan rendah hati. Dengan keahliannya itu, ia membela rakyat kecil di daerah Jakarta yang tertindas oleh penjajahan Belanda. Ia merampok orang-orang yang menjadi kaya karena menjadi kaki tangan Belanda, lalu membagi-bagikan hasil rampasannya kepada rakyat jelata. Sehingga, ia dikenal juga sebagai “Robin Hood dari Betawi”.
Hingga kini, orang Betawi percaya bahwa si Pitung memang pernah ada, berjuang, dan setelah gugur dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Berikut ini kisah pesilat legendaris tersebut.
***
Pada suatu sore, Pak Piun duduk-duduk di depan rumahnya. Seharian ia bekerja di sawah, dan sore itu ia ingin melepas lelah bersama keluarganya. Bu Pinah, istrinya, duduk di balai-balai bambu sambil memegangi perutnya yang membuncit. Beberapa hari lagi Bu Pinah akan melahirkan. Pak Piun tersenyum bahagia, sembari menggumamkan doa, semoga anak yang lahir kelak akan menjadi anak yang berguna.
Tiba-tiba salah satu dari ketiga anaknya yang duduk di dekat Bu Pinah bertanya kepada Pak Piun.
“Pak, kenapa padi yang baru saja dipanen dirampas oleh centeng-centeng[1] Babah Liem?”
Pak Piun terdiam sejenak, lalu menjawab dengan pelan.
“Biarlah, Nak. Lagipula kita masih punya padi.”
Sebenarnya, hati Pak Piun sedih bukan kepalang. Ia pun risau karena padi yang baru saja dipanen tiba-tiba saja dirampas oleh centeng-centeng Babah. Namun, di daerah itu, rakyat jelata seperti dia tidak bisa melawan perampasan itu.
Kampung Rawabelong, kampungnya, adalah bagian dari partikelir[2] Kebayoran. Tuan Tanah yang berkuasa di sana adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir itu diperoleh dari pemerintahan Belanda melalui pembelian dokumen tanah, serta kesediaan untuk membayar pajak kepada Belanda.
Untuk menjaga tanah itu, Babah Liem mengangkat centeng-centeng dari kalangan pribumi. Mereka bertugas menagih pajak kepada penduduk. Para penduduk tidak berani melawan centeng-centeng yang pandai bersilat dan mahir memainkan senjata itu. Maka, mereka hanya terdiam ketika centeng-centeng mengambili ayam, kambing, padi, dan apa saja yang bisa dibawa.
Beberapa hari kemudian, Bu Pinah melahirkan. Pak Piun menamai anak yang baru lahir itu Pitung, dan memanggilnya dengan nama si Pitung. Sebagaimana anak-anak Betawi umumnya, Pitung dibesarkan dalam keluarganya sendiri. Ia diajari tata krama, belajar mengaji, membantu ayahnya menanam padi, memetik kelapa, dan mencari rumput untuk pakan kambing. Adakalanya Pitung membantu tetangga-tetangganya tanpa diminta.
Pitung pun rajin menunaikan perintah Allah, sholat dan puasa, serta selalu bertutur kata dengan santun dan patuh kepada kedua orangtuanya.
Pitung belajar pengetahuan agama dan silat serta ilmu bela diri lainnya dari Haji Naipin, seorang ulama yang dihormati di kampung Rawabelong. Karena Pitung patuh dan rajin berlatih, ia menjadi murid kesayangan Haji Naipin. Kepadanya seluruh ilmu Haji Naipin dicurahkan, dengan harapan kelak ia menjadi murid yang berguna bagi masyarakat. Haji Naipin bahkan memberikan ilmu Pancasona, sebuah ilmu kebal senjata, kepada Pitung. Kata Haji Naipin, “Ilmu ini buat membela yang lemah dari kezaliman, bukan untuk menzalimi orang.”
Meski menjadi murid kesayangan Haji Naipin, tetapi Pitung selalu rendah hati. Kepada orang lain ia selalu bersikap santun dan terpuji. Ia pun tak luput dari gejolak masa muda. Ia menjalin hubungan dengan Aisyah, dan berjanji akan menikah bila kelak usia mereka sudah pantas untuk menikah.
Pada suatu hari, Pitung menyaksikan sendiri kesewenang-wenangan centeng-centeng Babah Liem. Centeng-centeng itu mendatangi rumah tetangganya dan merampas ayam, kambing, kelapa, dan simpanan padi di lumbung. Sebagai pemuda, darahnya mendidih. Ia ingin menghajar mereka.
Namun, ibunya mencegah Pitung.
“Jangan, Tung. Mereka punya kuasa. Nanti juga mereka mendapatkan hukuman sendiri.”
Karena ingin mematuhi nasehat ibunya, Pitung mengurungkan niatnya untuk menghajar centeng-centeng itu. Namun, di hari lain, ketika ia sedang berkunjung di kampung tetangga, ia melihat lagi centeng-centeng itu bertindak sewenang-wenang.
Pitung tak dapat menahan diri lagi. Dihampirinya centeng-centeng yang sedang sibuk merampasi barang keluarga yang malang itu.
“Hei, para pengecut!” seru Pitung. “Kenapa kalian merampas harta orang lain? Pakai keroyokan lagi. Sendiri-sendiri kalau berani!”
Pemimpin centeng menoleh kepada Pitung dan tersenyum merendahkan.
“Hai, kamu tidak tahu siapa kami ini ya? Pantas saja kamu berani membentak-bentak seperti itu.”
“Cuih!” Pitung meludah dengan marah. “Kalian hanya berani mengeroyok orang yang lemah. Sini, kalau berani bertarung melawanku.”
Pemimpin centeng itu menjadi geram. Ia menyerang Pitung sekenanya saja, mengira bahwa Pitung akan mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya ke tanah hingga pingsan. Centeng-centeng yang lain menghentikan kesibukan mereka dan mengepung Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima centeng yang mengeroyoknya. Satu demi satu ia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka menggotong pimpinan centeng yang masih pingsan dan melarikan diri.
Sebelum pergi, mereka mengancam: “Awas, nanti kami laporkan Demang.”
Beberapa hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi buah bibir di seluruh Kebayoran. Namun, Pitung tak mau congkak. Ia bahkan menghindar kalau ada orang yang bertanya kepadanya tentang kejadian itu.
Suatu hari, Pak Piun menyuruh Pitung menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak Piun sedang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pitung pun mengeluarkan dua ekor kambing dari kandang dan menuju ke Pasar Tanah Abang. Tanpa sepengetahuannya, ada seorang centeng yang membuntutinya. Centeng itu terus mengawasi Pitung ketika Pitung mengantongi uang hasil penjualan kambing. Bahkan ketika Pitung berjalan pulang dan singgah di sebuah mushola, orang itu tetap membuntutinya. Ketika Pitung melepas bajunya untuk mandi di sungai dan berwudhu, orang itu mencuri uang di saku baju Pitung.
Pitung sampai di rumah dan dimarahi ayahnya karena uang itu hilang. Dengan geram ia kembali ke Pasar Tanah Abang dan mencari orang yang telah mencuri uangnya. Setelah melakukan penyelidikan, ia menemukan orang itu. Orang itu sedang berkumpul dengan centeng-centeng lainnya di sebuah kedai kopi.
Pitung mendatanginya dan menghardik, “Kembalikan uangku!”
Para centeng itu tertawa.
Salah seorang berkata, “Kamu boleh ambil uang ini, tapi kamu harus menjadi anggota kami.”
“Cuh! Tak sudi aku jadi maling,” jawab Pitung dengan kasar.
Para centeng itu marah mendengar jawaban Pitung. Serentak mereka menyerbu Pitung. Namun, yang mereka hadapi adalah Si Pitung dari Kampung Rawabelong yang pernah menghajar enam orang centeng Babah Liem sendirian. Akibatnya, satu demi satu mereka kena tinju Si Pitung. Yang berani menggunakan senjata malah dimakan sendiri oleh senjata mereka.
Sejak hari itu, Si Pitung memutuskan untuk membela orang-orang yang lemah. Ia tak tahan lagi melihat penderitaan rakyat jelata, yang ditindas centeng-centeng tuan tanah dan dihisap oleh penjajah Belanda. Beberapa centeng yang pernah dihajarnya ada yang insyaf dan ia mengajak mereka untuk membentuk suatu kelompok. Bersama kelompoknya, ia merampoki rumah-rumah orang kaya dan membagi-bagikan harta rampasannya kepada orang-orang miskin dan lemah.
Nama Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Namun, pada saat yang bersamaan, muncul juga kelompok-kelompok lain yang ikut-ikutan merampok atas nama Si Pitung. Para tuan tanah dan orang-orang yang mengambil keuntungan dengan cara memihak Belanda menjadi tidak tenteram. Mereka mengadukan persoalan itu kepada pemerintah Belanda.
Penguasa penjajah di Batavia pun memerintahkan aparat-aparatnya untuk menangkap Si Pitung. Schout Heyne, kontrolir[3] Kebayoran, memerintahkan mantri polisi dan bek untuk mencari tahu di mana Pitung berada. Schout Heyne menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yang mau memberi tahu keberadaan si Pitung
Mengetahui dirinya menjadi buron, Pitung berpindah-pindah tempat, bahkan pernah sampai ke Marunda. Selama itu, ia tetap melaksanakan perampasan harta orang-orang kaya, para demang dan tuan tanah. Harta rampasan selalu ia berikan kepada rakyat yang lemah dan tertindas oleh penjajahan.
Namun, pada suatu hari, Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi. Waktu itu mereka akan merampok rumah seorang demang. Polisi sudah lebih dulu bersembunyi di sekitar rumah demang itu. Ketika kelompok Pitung tiba, polisi segera mengepung rumah itu. Pitung membiarkan dirinya tertangkap, sementara teman-temannya berhasil meloloskan diri. Ia dibawa ke penjara Grogol dan disekap di sana.
Namun, karena selalu memikirkan nasib rakyat, ia meloloskan diri lewat genteng pada suatu malam. Para penjaga menjadi panik karenanya.
“Wah, bagaimana ini? Ke mana si Pitung” tanya mereka kepada teman satu sel Pitung.
“Saya tak tahu. Pitung kan sakti. Dia bisa menghilang,” jawab teman satu sel Pitung.
Kabar bahwa Pitung lolos membuat kontrolir dan orang-orang kaya menjadi tidak tenteram lagi. Schout Heyne memerintahkan orang untuk menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Kedua orang itu disiksa agar memberitahukan di mana Si Pitung berada. Namun, keduanya bungkam. Akibatnya, mereka berdua pun dibui di Grogol.
Sementara itu, Pitung terus menjalankan kegiatannya. Namun, ia menjadi berpikir panjang ketika mendengar kabar bahwa ayah dan gurunya dibui polisi. Ia mengirim pesan bahwa ia bersedia menyerahkan diri bila kedua orang itu dibebaskan. Schout Heyne setuju.
Pada hari yang ditentukan, mereka membawa Haji Naipin ke tanah lapang. Pak Piun sudah lebih dulu dibebaskan. Di tanah lapang itu, sepasukan polisi menodongkan senjata kepada Haji Naipin. Pitung muncul sendirian. Schout Heyne menyuruh Pitung menyerah. Pitung meminta agar Haji Naipin dilepaskan dulu.
Setelah Haji Naipin dilepaskan, Pitung maju menghadapi Schout Heyne. Pasukan polisi kini membidikkan senjata mereka kepada Pitung.
“Huh, tertangkap juga kamu, Pitung!” dengus Schout Heyne dengan nada sombong.
“Iya, tapi nanti aku pasti akan lolos lagi. Dengan orang pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya mengandalkan anak buah, aku tidak takut,” jawab Pitung.
Schout Heyne menjadi marah. Ia mundur beberapa langkah dan memberi aba-aba agar pasukannya bersiap menembak. Haji Naipin yang masih ada di situ memprotes tindakan yang pengecut itu. Namun, sudah terlanjur, perintah menembak sudah diberikan, dan Pitung pun roboh bersimbah darah.
Pitung dimakamkan beberapa hari kemudian. Banyak rakyat yang turut mengiringi pemakamannya dan mendoakannya. Mereka akan selalu mengingat jasa Si Pitung, pembela dan pelindung mereka.
Beberapa bulan kemudian Schout Heyne dipecat dari jabatannya karena ia telah menembak orang yang tidak melawan ketika ditangkap.
***
Walaupun pada akhirnya si Pitung gugur oleh peluru pasukan Belanda, tetapi ia gugur sebagai pahlawan dan selalu dikenang oleh generasi selanjutnya. Kisah ini mengajarkan bahwa orang yang berani menegakkan kebenaran dan keadilan akan selalu berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sedangkan orang pengecut seperti Scout Heyne, yang menggunakan akal licik untuk menghadapi lawan, pada akhirnya akan memperoleh balasan dari kelicikannya.
Kisah tentang si Pitung berkembang menjadi cerita rakyat (folklore) dengan berbagai versi. Kemudian, selain dikisahkan ulang secara tercetak melalui buku dan majalah, kisah si Pitung juga diproduksi menjadi film yang selalu laris, seperti Titisan Si Pitung (1989-sutradara Tommy Burnama) dan Pitung 3: Pembalasan Si Pitung Ji’ih (1977-sutradara Nawi Ismail).
Pada tahun 1982, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli sebuah rumah di Teluk Jakarta, Marunda, yang dipercaya sebagai rumah si Pitung. Namun, menurut Jakarta Post (23/10/1999), rumah itu sebenarnya milik Syafiudin, yang merupakan salah satu korban Si Pitung. Walaupun demikian, hal ini tetap membuktikan bahwa Si Pitung telah dianggap sebagai tauladan yang penting bagi masyarakat.
(AI/sas/1/06-09)
Isi cerita diadaptasi dari:
Rahmat Ali, 1993. Cerita Rakyat Betawi. Jakarta: Grasindo
-------, “Legend surrounds Jonker, Si Pitung,” di http://www.thejakartapost.com/, diakses pada 16 Juni 2009
-----, “Si Pitung”, di http://www.jagoan.or.id/, diakses pada 16 Juni 2009
Sumber: Buku 366 Cerita Rakyat Nusantara, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa bekerja sama dengan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2008.
[1] Centeng: pendekar.
[2] Partikelir: perusahaan swasta.
[3] Kontrolir: pemimpin pemerintahan daerah pada masa penjajahan Belanda.
Hingga kini, orang Betawi percaya bahwa si Pitung memang pernah ada, berjuang, dan setelah gugur dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Berikut ini kisah pesilat legendaris tersebut.
***
Pada suatu sore, Pak Piun duduk-duduk di depan rumahnya. Seharian ia bekerja di sawah, dan sore itu ia ingin melepas lelah bersama keluarganya. Bu Pinah, istrinya, duduk di balai-balai bambu sambil memegangi perutnya yang membuncit. Beberapa hari lagi Bu Pinah akan melahirkan. Pak Piun tersenyum bahagia, sembari menggumamkan doa, semoga anak yang lahir kelak akan menjadi anak yang berguna.
Tiba-tiba salah satu dari ketiga anaknya yang duduk di dekat Bu Pinah bertanya kepada Pak Piun.
“Pak, kenapa padi yang baru saja dipanen dirampas oleh centeng-centeng[1] Babah Liem?”
Pak Piun terdiam sejenak, lalu menjawab dengan pelan.
“Biarlah, Nak. Lagipula kita masih punya padi.”
Sebenarnya, hati Pak Piun sedih bukan kepalang. Ia pun risau karena padi yang baru saja dipanen tiba-tiba saja dirampas oleh centeng-centeng Babah. Namun, di daerah itu, rakyat jelata seperti dia tidak bisa melawan perampasan itu.
Kampung Rawabelong, kampungnya, adalah bagian dari partikelir[2] Kebayoran. Tuan Tanah yang berkuasa di sana adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir itu diperoleh dari pemerintahan Belanda melalui pembelian dokumen tanah, serta kesediaan untuk membayar pajak kepada Belanda.
Untuk menjaga tanah itu, Babah Liem mengangkat centeng-centeng dari kalangan pribumi. Mereka bertugas menagih pajak kepada penduduk. Para penduduk tidak berani melawan centeng-centeng yang pandai bersilat dan mahir memainkan senjata itu. Maka, mereka hanya terdiam ketika centeng-centeng mengambili ayam, kambing, padi, dan apa saja yang bisa dibawa.
Beberapa hari kemudian, Bu Pinah melahirkan. Pak Piun menamai anak yang baru lahir itu Pitung, dan memanggilnya dengan nama si Pitung. Sebagaimana anak-anak Betawi umumnya, Pitung dibesarkan dalam keluarganya sendiri. Ia diajari tata krama, belajar mengaji, membantu ayahnya menanam padi, memetik kelapa, dan mencari rumput untuk pakan kambing. Adakalanya Pitung membantu tetangga-tetangganya tanpa diminta.
Pitung pun rajin menunaikan perintah Allah, sholat dan puasa, serta selalu bertutur kata dengan santun dan patuh kepada kedua orangtuanya.
Pitung belajar pengetahuan agama dan silat serta ilmu bela diri lainnya dari Haji Naipin, seorang ulama yang dihormati di kampung Rawabelong. Karena Pitung patuh dan rajin berlatih, ia menjadi murid kesayangan Haji Naipin. Kepadanya seluruh ilmu Haji Naipin dicurahkan, dengan harapan kelak ia menjadi murid yang berguna bagi masyarakat. Haji Naipin bahkan memberikan ilmu Pancasona, sebuah ilmu kebal senjata, kepada Pitung. Kata Haji Naipin, “Ilmu ini buat membela yang lemah dari kezaliman, bukan untuk menzalimi orang.”
Meski menjadi murid kesayangan Haji Naipin, tetapi Pitung selalu rendah hati. Kepada orang lain ia selalu bersikap santun dan terpuji. Ia pun tak luput dari gejolak masa muda. Ia menjalin hubungan dengan Aisyah, dan berjanji akan menikah bila kelak usia mereka sudah pantas untuk menikah.
Pada suatu hari, Pitung menyaksikan sendiri kesewenang-wenangan centeng-centeng Babah Liem. Centeng-centeng itu mendatangi rumah tetangganya dan merampas ayam, kambing, kelapa, dan simpanan padi di lumbung. Sebagai pemuda, darahnya mendidih. Ia ingin menghajar mereka.
Namun, ibunya mencegah Pitung.
“Jangan, Tung. Mereka punya kuasa. Nanti juga mereka mendapatkan hukuman sendiri.”
Karena ingin mematuhi nasehat ibunya, Pitung mengurungkan niatnya untuk menghajar centeng-centeng itu. Namun, di hari lain, ketika ia sedang berkunjung di kampung tetangga, ia melihat lagi centeng-centeng itu bertindak sewenang-wenang.
Pitung tak dapat menahan diri lagi. Dihampirinya centeng-centeng yang sedang sibuk merampasi barang keluarga yang malang itu.
“Hei, para pengecut!” seru Pitung. “Kenapa kalian merampas harta orang lain? Pakai keroyokan lagi. Sendiri-sendiri kalau berani!”
Pemimpin centeng menoleh kepada Pitung dan tersenyum merendahkan.
“Hai, kamu tidak tahu siapa kami ini ya? Pantas saja kamu berani membentak-bentak seperti itu.”
“Cuih!” Pitung meludah dengan marah. “Kalian hanya berani mengeroyok orang yang lemah. Sini, kalau berani bertarung melawanku.”
Pemimpin centeng itu menjadi geram. Ia menyerang Pitung sekenanya saja, mengira bahwa Pitung akan mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya ke tanah hingga pingsan. Centeng-centeng yang lain menghentikan kesibukan mereka dan mengepung Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima centeng yang mengeroyoknya. Satu demi satu ia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka menggotong pimpinan centeng yang masih pingsan dan melarikan diri.
Sebelum pergi, mereka mengancam: “Awas, nanti kami laporkan Demang.”
Beberapa hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi buah bibir di seluruh Kebayoran. Namun, Pitung tak mau congkak. Ia bahkan menghindar kalau ada orang yang bertanya kepadanya tentang kejadian itu.
Suatu hari, Pak Piun menyuruh Pitung menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak Piun sedang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pitung pun mengeluarkan dua ekor kambing dari kandang dan menuju ke Pasar Tanah Abang. Tanpa sepengetahuannya, ada seorang centeng yang membuntutinya. Centeng itu terus mengawasi Pitung ketika Pitung mengantongi uang hasil penjualan kambing. Bahkan ketika Pitung berjalan pulang dan singgah di sebuah mushola, orang itu tetap membuntutinya. Ketika Pitung melepas bajunya untuk mandi di sungai dan berwudhu, orang itu mencuri uang di saku baju Pitung.
Pitung sampai di rumah dan dimarahi ayahnya karena uang itu hilang. Dengan geram ia kembali ke Pasar Tanah Abang dan mencari orang yang telah mencuri uangnya. Setelah melakukan penyelidikan, ia menemukan orang itu. Orang itu sedang berkumpul dengan centeng-centeng lainnya di sebuah kedai kopi.
Pitung mendatanginya dan menghardik, “Kembalikan uangku!”
Para centeng itu tertawa.
Salah seorang berkata, “Kamu boleh ambil uang ini, tapi kamu harus menjadi anggota kami.”
“Cuh! Tak sudi aku jadi maling,” jawab Pitung dengan kasar.
Para centeng itu marah mendengar jawaban Pitung. Serentak mereka menyerbu Pitung. Namun, yang mereka hadapi adalah Si Pitung dari Kampung Rawabelong yang pernah menghajar enam orang centeng Babah Liem sendirian. Akibatnya, satu demi satu mereka kena tinju Si Pitung. Yang berani menggunakan senjata malah dimakan sendiri oleh senjata mereka.
Sejak hari itu, Si Pitung memutuskan untuk membela orang-orang yang lemah. Ia tak tahan lagi melihat penderitaan rakyat jelata, yang ditindas centeng-centeng tuan tanah dan dihisap oleh penjajah Belanda. Beberapa centeng yang pernah dihajarnya ada yang insyaf dan ia mengajak mereka untuk membentuk suatu kelompok. Bersama kelompoknya, ia merampoki rumah-rumah orang kaya dan membagi-bagikan harta rampasannya kepada orang-orang miskin dan lemah.
Nama Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Namun, pada saat yang bersamaan, muncul juga kelompok-kelompok lain yang ikut-ikutan merampok atas nama Si Pitung. Para tuan tanah dan orang-orang yang mengambil keuntungan dengan cara memihak Belanda menjadi tidak tenteram. Mereka mengadukan persoalan itu kepada pemerintah Belanda.
Penguasa penjajah di Batavia pun memerintahkan aparat-aparatnya untuk menangkap Si Pitung. Schout Heyne, kontrolir[3] Kebayoran, memerintahkan mantri polisi dan bek untuk mencari tahu di mana Pitung berada. Schout Heyne menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yang mau memberi tahu keberadaan si Pitung
Mengetahui dirinya menjadi buron, Pitung berpindah-pindah tempat, bahkan pernah sampai ke Marunda. Selama itu, ia tetap melaksanakan perampasan harta orang-orang kaya, para demang dan tuan tanah. Harta rampasan selalu ia berikan kepada rakyat yang lemah dan tertindas oleh penjajahan.
Namun, pada suatu hari, Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi. Waktu itu mereka akan merampok rumah seorang demang. Polisi sudah lebih dulu bersembunyi di sekitar rumah demang itu. Ketika kelompok Pitung tiba, polisi segera mengepung rumah itu. Pitung membiarkan dirinya tertangkap, sementara teman-temannya berhasil meloloskan diri. Ia dibawa ke penjara Grogol dan disekap di sana.
Namun, karena selalu memikirkan nasib rakyat, ia meloloskan diri lewat genteng pada suatu malam. Para penjaga menjadi panik karenanya.
“Wah, bagaimana ini? Ke mana si Pitung” tanya mereka kepada teman satu sel Pitung.
“Saya tak tahu. Pitung kan sakti. Dia bisa menghilang,” jawab teman satu sel Pitung.
Kabar bahwa Pitung lolos membuat kontrolir dan orang-orang kaya menjadi tidak tenteram lagi. Schout Heyne memerintahkan orang untuk menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Kedua orang itu disiksa agar memberitahukan di mana Si Pitung berada. Namun, keduanya bungkam. Akibatnya, mereka berdua pun dibui di Grogol.
Sementara itu, Pitung terus menjalankan kegiatannya. Namun, ia menjadi berpikir panjang ketika mendengar kabar bahwa ayah dan gurunya dibui polisi. Ia mengirim pesan bahwa ia bersedia menyerahkan diri bila kedua orang itu dibebaskan. Schout Heyne setuju.
Pada hari yang ditentukan, mereka membawa Haji Naipin ke tanah lapang. Pak Piun sudah lebih dulu dibebaskan. Di tanah lapang itu, sepasukan polisi menodongkan senjata kepada Haji Naipin. Pitung muncul sendirian. Schout Heyne menyuruh Pitung menyerah. Pitung meminta agar Haji Naipin dilepaskan dulu.
Setelah Haji Naipin dilepaskan, Pitung maju menghadapi Schout Heyne. Pasukan polisi kini membidikkan senjata mereka kepada Pitung.
“Huh, tertangkap juga kamu, Pitung!” dengus Schout Heyne dengan nada sombong.
“Iya, tapi nanti aku pasti akan lolos lagi. Dengan orang pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya mengandalkan anak buah, aku tidak takut,” jawab Pitung.
Schout Heyne menjadi marah. Ia mundur beberapa langkah dan memberi aba-aba agar pasukannya bersiap menembak. Haji Naipin yang masih ada di situ memprotes tindakan yang pengecut itu. Namun, sudah terlanjur, perintah menembak sudah diberikan, dan Pitung pun roboh bersimbah darah.
Pitung dimakamkan beberapa hari kemudian. Banyak rakyat yang turut mengiringi pemakamannya dan mendoakannya. Mereka akan selalu mengingat jasa Si Pitung, pembela dan pelindung mereka.
Beberapa bulan kemudian Schout Heyne dipecat dari jabatannya karena ia telah menembak orang yang tidak melawan ketika ditangkap.
***
Walaupun pada akhirnya si Pitung gugur oleh peluru pasukan Belanda, tetapi ia gugur sebagai pahlawan dan selalu dikenang oleh generasi selanjutnya. Kisah ini mengajarkan bahwa orang yang berani menegakkan kebenaran dan keadilan akan selalu berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sedangkan orang pengecut seperti Scout Heyne, yang menggunakan akal licik untuk menghadapi lawan, pada akhirnya akan memperoleh balasan dari kelicikannya.
Kisah tentang si Pitung berkembang menjadi cerita rakyat (folklore) dengan berbagai versi. Kemudian, selain dikisahkan ulang secara tercetak melalui buku dan majalah, kisah si Pitung juga diproduksi menjadi film yang selalu laris, seperti Titisan Si Pitung (1989-sutradara Tommy Burnama) dan Pitung 3: Pembalasan Si Pitung Ji’ih (1977-sutradara Nawi Ismail).
Pada tahun 1982, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli sebuah rumah di Teluk Jakarta, Marunda, yang dipercaya sebagai rumah si Pitung. Namun, menurut Jakarta Post (23/10/1999), rumah itu sebenarnya milik Syafiudin, yang merupakan salah satu korban Si Pitung. Walaupun demikian, hal ini tetap membuktikan bahwa Si Pitung telah dianggap sebagai tauladan yang penting bagi masyarakat.
(AI/sas/1/06-09)
Isi cerita diadaptasi dari:
Rahmat Ali, 1993. Cerita Rakyat Betawi. Jakarta: Grasindo
-------, “Legend surrounds Jonker, Si Pitung,” di http://www.thejakartapost.com/, diakses pada 16 Juni 2009
-----, “Si Pitung”, di http://www.jagoan.or.id/, diakses pada 16 Juni 2009
Sumber: Buku 366 Cerita Rakyat Nusantara, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa bekerja sama dengan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2008.
[1] Centeng: pendekar.
[2] Partikelir: perusahaan swasta.
[3] Kontrolir: pemimpin pemerintahan daerah pada masa penjajahan Belanda.
0 komentar:
Posting Komentar