Tampilkan postingan dengan label Cerita Legenda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Legenda. Tampilkan semua postingan
TOP

Legenda Danau Toba

Wonosobo, 17/02/2013, Danau Toba dengan panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer merupakan danau terbesar di Indonesia. Danau yang di tengahnya terdapat Pulau Samosir ini terletak di Provinsi Sumatra Utara. Menurut cerita, danau vulkanik ini dahulu merupakan sebuah aliran sungai. Namun karena terjadi sebuah peristiwa yang luar biasa, aliran sungai tersebut berubah menjadi danau. Peristiwa apakah yang terjadi sehingga aliran sungai itu berubah menjadi danau? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Toba berikut ini.

* * *

Alkisah, di daerah Sumatra Utara, Indonesia, hiduplah seorang pemuda pengembara. Ia mengembara ke berbagai negeri. Pada suatu hari, sampailah ia di sebuah tempat yang alamnya indah dan subur. Di sekitar tempat itu terdapat sebuah sungai yang jernih airnya. Pemuda itu tertarik untuk menetap di tempat itu. Akhirnya, ia pun membangun sebuah rumah sederhana tidak jauh dari sungai. Rumah itu terdiri dari sebuah kamar tidur dan sebuah ruang dapur untuk memasak.

Usai mendirikan rumah, pemuda itu segera mencari sebidang tanah yang subur untuk ia tanami berbagai jenis tanaman seperti umbi-umbian dan sayur-sayuran. Setelah menemukan tempat yang cocok, ia pun mulai membuka lahan dengan menebangi pohon-pohon besar dan membabat semak-semak belukar. Setiap kali pulang ke rumahnya, ia selalu membawa kayu bakar dan menyimpannya di kolong rumahnya untuk digunakan memasak sehari-hari. Selain berladang, pemuda itu pergi ke sungai untuk memancing ikan untuk dijadikan lauk.

Pada suatu hari, sepulang dari ladangnya, pemuda itu pergi ke sungai memancing ikan. Sesampainya di sungai, ia pun segera melemparkan pancing ke tengah sungai. Sudah cukup lama ia memancing, tapi tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya. Berkali-kali ia mengangkat dan melemparkan kembali pancing ke sungai, namun belum juga ada ikan yang memakan umpannya.

“Aneh! Kenapa tidak seekor ikan pun yang menyentuh umpanku? Padahal biasanya setiap aku melemparkan pancingku ke sungai langsung disambar ikan. Apakah ikan di sungai ini sudah habis?” pikirnya dalam hati.

Beberapa saat kemudian, pemuda itu mencoba sekali lagi menarik dan melemparkan kembali pancingnya agak ke tengah sungai. Tetapi, tetap saja belum membuahkan hasil. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti memancing. Namun, ketika hendak menarik pancingnya, tiba-tiba seekor ikan menyambarnya. Setelah beberapa saat membiarkan pancingnya ditarik ikan itu ke sana kemari, ia pun menariknya dengan pelan-pelan.

“Aduuuh, berat sekali! Ini pasti ikan besar yang menarik pancingku,” pikir pemuda itu.

Ternyata benar. Setelah dengan susah payah pemuda itu menarik pancingnya hingga ke tepi sungai, tampaklah seekor ikan besar tergantung dan mengelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan cepat, ia mengangkat pancingnya agak jauh ke darat agar tidak terlepas ke sungai. Alangkah senang hati pemuda itu, karena baru kali ini ia mendapatkan ikan sebesar itu. Saat ia melepas mata pancingnya, ikan itu menatapnya dengan penuh arti. Ia merasa tatapan mata ikan itu bagai tatapan mata seorang gadis yang jatuh hati kepadanya. Namun, pemuda itu berpikir bahwa tidak mungkin seekor ikan bisa jatuh hati kepadanya. Dengan perasaan gembira, ia pun segera memasukkan ikan itu ke dalam keranjang ikan. Setelah itu, ia bergegas pulang ke rumahnya sambil tersenyum membayangkan betapa lezatnya daging ikan besar itu jika dipanggang.

Sesampainya di rumah, pemuda itu langsung membawa ikan itu ke dapur. Ketika hendak memanggang ikan itu, ternyata persediaan kayu bakar telah habis. Ia pun segera keluar mengambil kayu bakar di kolong rumahnya. Alangkah terkejutnya ia setelah kembali ke dapurnya. Ikan yang tersimpan di keranjangnya sudah tidak ada lagi.

“Di mana ikanku? Bukankah tadi dia masih di keranjang ini?” gumam pemuda itu dengan heran.

Ketika memeriksa wadahnya, pemuda itu melihat beberapa keping uang emas. Ia pun semakin heran dan bingung.

“Aneh! Kenapa ada kepingan uang emas di sini? Siapa yang menaruhnya?” gumamnya lagi.

Dengan perasaan bingung, pemuda itu mengambil kepingan uang emas itu dan hendak menyimpannya di kamar. Betapa terkejutnya ia saat membuka pintu kamarnya. Ia melihat seorang gadis sedang berdiri di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang panjang terurai. Ketika gadis itu membalikkan badan dan memandangnya, darah pemuda itu langsung tersirap melihat kecantikannya. Selama bertahun-tahun mengembara ke berbagai negeri, baru kali ini ia melihat gadis secantik dia.

“Hai, siapa kamu? Kenapa bisa berada di dalam kamarku?” tanya pemuda itu heran.

Gadis itu bukannya menjawab pertanyaan si pemuda, tetapi ia malah mengajaknya agar menemaninya ke dapur. Tanpa berkata sedikitpun, pemuda itu menuruti pemintaan sang Gadis. Sesampainya di ruang dapur, gadis itu langsung mengambil beras untuk dimasak. Sambil menunggu nasi matang, gadis itu pun bercerita kepada si pemuda.

“Maaf Tuan, jika kehadiran hamba di sini telah mengusik ketenangan Tuan. Sebenarnya hamba adalah penjelmaan dari ikan yang Tuan bawa dari sungai tadi. Sedangkan kepingan uang emas yang ada di wadah itu adalah penjelmaan sisik hamba,” kata gadis itu.

Sang Pemuda seakan-akan tidak percaya dengan perkataan gadis itu. Tetapi apa yang dihadapinya itu adalah kenyataan, bukan hanya mimpi belaka. Belum sempat ia berkata apa-apa, si gadis kembali angkat bicara.

“Jika Tuan berkenan, bolehkah hamba tinggal bersama Tuan di sini?” pinta gadis itu.

“Dengan senang hati, Putri!” jawab pemuda itu.

Akhirnya, gadis itu pun tinggal di rumahnya. Setelah beberapa minggu hidup bersama, pemuda itu melamarnya untuk dijadikan istri.

“Baiklah, Tuan! Hamba menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu permintaan hamba,” kata gadis itu.

“Apakah permintaanmu itu, Putri?” tanya pemuda itu.

“Tuan harus berjanji untuk tidak menceritakan asal usul hamba sebagai penjelmaan ikan kepada siapa pun,” pinta gadis itu.

“Baiklah, saya terima permintaanmu. Saya bersumpah tidak akan pernah mengungkit asul-usul, Putri,” kata pemuda itu.

Setelah pemuda itu mengucapkan sumpah, keduanya pun menikah. Setahun kemudian, mereka pun dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan. Mereka merawat dan membesarkan anak itu dengan perhatian dan kasih sayang. Namun karena kasih sayang yang berlebihan, anak itu menjadi anak yang manja dan pemalas.

Ketika anak itu beranjak remaja, ibunya sering menyuruhnya mengantarkan makanan dan minuman untuk ayahnya yang sedang bekerja di ladang. Namun anak itu selalu menolak perintah ibunya, sehingga terpaksalah ibunya yang harus mengantar makanan itu.

Pada suatu hari, sang Ibu sedang merasa tidak enak badan. Ia pun menyuruh anaknya agar mengantarkan bungkusan yang berisi nasi dan ikan panggang untuk ayahnya. Mulanya anak itu menolak, namun karena sang Ibu terus memaksanya, akhirnya dengan perasaan kesal anak itu mengantar makanan itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba anak itu merasa lapar. Ia pun berhenti dan membuka bungkusan itu. Dengan lahapnya, ia memakan sebagian nasi dan lauknya hingga yang tersisa hanya sedikit nasi dan daging ikan yang menempel di tulang. Setelah kenyang, ia pun membungkus kembali makanan itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke ladang. Sesampainya di ladang, ia segera menyerahkan bungkusan itu kepada ayahnya.

“Wah, kamu memang anak yang rajin, Anakku!’ puji sang sambil tersenyum.

Sang Ayah yang sudah kelaparan segera membuka bungkusan itu. Alangkah terkejutnya ia saat melihat isi bungkusan itu yang hanya sisa-sisa. Hatinya yang semula senang dan gembira, tiba-tiba berubah menjadi kesal dan marah.

“Hai, kenapa isi bungkusan ini hanya sisa-sisa?” tanya sang Ayah dengan wajah memerah.

“Maaf, Ayah! Di perjalanan tadi saya sangat lapar, jadi saya makan sebagian isi bungkusan itu,” jawab sang Anak.

Mendengar jawaban itu, kemarahan sang Ayah pun semakin memuncak. Ia pun memukul anaknya sambil berkata, “Dasar anak tidak tahu diuntung! Kamu memang benar-benar anak keturuan ikan!”

Sambil menahan rasa sakit dipukuli, anak itu bertanya kepada ayahnya, “Apa maksud Ayah? Kenapa mengatakan aku anak keturunan ikan?”

“Asal kamu tahu saja, ibumu adalah penjelmaan seekor ikan,” jawab Ayahnya.

Mendengar jawaban ayahnya, anak itu segera berlari pulang ke rumahnya sambil menangis. Sesampainya di rumah, ia pun langsung mengadu kepada ibunya.

“Ibu..., Ibu...! Ayah memukulku dan mengatakan aku anak keturunan ikan,” kata anak itu.

Sang Ibu sangat sedih mendengar pengaduan anaknya itu, karena suaminya telah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang mengungkit asal asulnya. Seketika itu pula ia menyuruh anaknya agar naik ke puncak bukit.

“Anakku! Naiklah ke puncak bukit itu dan panjatlah pohon yang paling tinggi!” seru sang Ibu sambil meneteskan air mata.

Tanpa banyak tanya lagi, anak itu pun segera berlari ke atas bukit yang tidak jauh dari rumah mereka. Ketika anak itu sampai di lereng bukit, sang Ibu pun segera berlari menuju ke sungai. Saat ia berada di tepi sungai, cuaca yang semula cerah, tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita. Langit bergemuruh disusul petir menyambar-nyambar yang disertai dengan hujan yang sangat deras. Pada saat itulah, sang Ibu segera melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar. Tak berapa lama kemudian, sungai itu banjir dan airnya meluap ke mana-mana, sehingga tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Lama kelamaan, genangan air itu semakin meluas dan akhirnya berubah menjadi sebuah danau yang sangat besar. Oleh masyarakat setempat, danau itu dinamakan Danau Toba.

* * *

Demikian cerita Asal Mula Danau Toba dari daerah Sumatra Utara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua nilai moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat buruk sifat terlalu memanjakan anak dan sifat tidak pandai menjaga amanah.

Pertama, akibat buruk karena terlalu memanjakan anak, sebagaimana tampak pada sikap si Pengembara dan istrinya yang terlalu memanjakan anaknya dengan mencurahkan perhatian dan kasih sayang secara berlebihan. Akibatnya, anaknya pun menjadi pemalas.

Kedua, akibat buruk tidak pandai memelihara amanah Orang yang tidak pandai memelihara amanah adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Hal inilah yang terjadi pada si Pengembara yang telah mengingkari janji dan sumpahnya dengan mengungkit-ungkit asal-usul istrinya di depan anak mereka. Akibatnya, istrinya pun pergi meninggalkannya dan kembali menjelma menjadi seekor ikan besar. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

siapa melalaikan amanah,

hidup matinya takkan berkah



siapa menolak amanah,

balak menimpa hidupnya punah

(Samsuni/sas/120/01-09)

Sumber:

-       Isi cerita diadaptasi dari Z. Pangaduan Lubis. 2000. Cerita Rakyat dari Sumatra Utara 2. Jakarta: Grasindo.

-     Anonim. “Danau Toba,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Danau_Toba, diakses tanggal 17 Januari 2009).

-      Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.

TOP

Si Pitung Betawi

Wonosobo, 17/02/2013 Si Pitung adalah tokoh legendaris dan pahlawan dalam masyarakat Betawi di Jakarta. Ia dipercaya sebagai pesilat unggul yang saleh dan rendah hati. Dengan keahliannya itu, ia membela rakyat kecil di daerah Jakarta yang tertindas oleh penjajahan Belanda. Ia merampok orang-orang yang menjadi kaya karena menjadi kaki tangan Belanda, lalu membagi-bagikan hasil rampasannya kepada rakyat jelata. Sehingga, ia dikenal juga sebagai “Robin Hood dari Betawi”.

Hingga kini, orang Betawi percaya bahwa si Pitung memang pernah ada, berjuang, dan setelah gugur dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Berikut ini kisah pesilat legendaris tersebut.

***

Pada suatu sore, Pak Piun duduk-duduk di depan rumahnya. Seharian ia bekerja di sawah, dan sore itu ia ingin melepas lelah bersama keluarganya. Bu Pinah, istrinya, duduk di balai-balai bambu sambil memegangi perutnya yang membuncit. Beberapa hari lagi Bu Pinah akan melahirkan. Pak Piun tersenyum bahagia, sembari menggumamkan doa, semoga anak yang lahir kelak akan menjadi anak yang berguna.

Tiba-tiba salah satu dari ketiga anaknya yang duduk di dekat Bu Pinah bertanya kepada Pak Piun.

“Pak, kenapa padi yang baru saja dipanen dirampas oleh centeng-centeng[1] Babah Liem?”

Pak Piun terdiam sejenak, lalu menjawab dengan pelan.

“Biarlah, Nak. Lagipula kita masih punya padi.”

Sebenarnya, hati Pak Piun sedih bukan kepalang. Ia pun risau karena padi yang baru saja dipanen tiba-tiba saja dirampas oleh centeng-centeng Babah. Namun, di daerah itu, rakyat jelata seperti dia tidak bisa melawan perampasan itu.

Kampung Rawabelong, kampungnya, adalah bagian dari partikelir[2] Kebayoran. Tuan Tanah yang berkuasa di sana adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir itu diperoleh dari pemerintahan Belanda melalui pembelian dokumen tanah, serta kesediaan untuk membayar pajak kepada Belanda.

Untuk menjaga tanah itu, Babah Liem mengangkat centeng-centeng dari kalangan pribumi. Mereka bertugas menagih pajak kepada penduduk. Para penduduk tidak berani melawan centeng-centeng yang pandai bersilat dan mahir memainkan senjata itu. Maka, mereka hanya terdiam ketika centeng-centeng mengambili ayam, kambing, padi, dan apa saja yang bisa dibawa.

Beberapa hari kemudian, Bu Pinah melahirkan. Pak Piun menamai anak yang baru lahir itu Pitung, dan memanggilnya dengan nama si Pitung. Sebagaimana anak-anak Betawi umumnya, Pitung dibesarkan dalam keluarganya sendiri. Ia diajari tata krama, belajar mengaji, membantu ayahnya menanam padi, memetik kelapa, dan mencari rumput untuk pakan kambing. Adakalanya Pitung membantu tetangga-tetangganya tanpa diminta.

Pitung pun rajin menunaikan perintah Allah, sholat dan puasa, serta selalu bertutur kata dengan santun dan patuh kepada kedua orangtuanya.

Pitung belajar pengetahuan agama dan silat serta ilmu bela diri lainnya dari Haji Naipin, seorang ulama yang dihormati di kampung Rawabelong. Karena Pitung patuh dan rajin berlatih, ia menjadi murid kesayangan Haji Naipin. Kepadanya seluruh ilmu Haji Naipin dicurahkan, dengan harapan kelak ia menjadi murid yang berguna bagi masyarakat. Haji Naipin bahkan memberikan ilmu Pancasona, sebuah ilmu kebal senjata, kepada Pitung. Kata Haji Naipin, “Ilmu ini buat membela yang lemah dari kezaliman, bukan untuk menzalimi orang.”

Meski menjadi murid kesayangan Haji Naipin, tetapi Pitung selalu rendah hati. Kepada orang lain ia selalu bersikap santun dan terpuji. Ia pun tak luput dari gejolak masa muda. Ia menjalin hubungan dengan Aisyah, dan berjanji akan menikah bila kelak usia mereka sudah pantas untuk menikah.

Pada suatu hari, Pitung menyaksikan sendiri kesewenang-wenangan centeng-centeng Babah Liem. Centeng-centeng itu mendatangi rumah tetangganya dan merampas ayam, kambing, kelapa, dan simpanan padi di lumbung. Sebagai pemuda, darahnya mendidih. Ia ingin menghajar mereka.

Namun, ibunya mencegah Pitung.

“Jangan, Tung. Mereka punya kuasa. Nanti juga mereka mendapatkan hukuman sendiri.”

Karena ingin mematuhi nasehat ibunya, Pitung mengurungkan niatnya untuk menghajar centeng-centeng itu. Namun, di hari lain, ketika ia sedang berkunjung di kampung tetangga, ia melihat lagi centeng-centeng itu bertindak sewenang-wenang.

Pitung tak dapat menahan diri lagi. Dihampirinya centeng-centeng yang sedang sibuk merampasi barang keluarga yang malang itu.

“Hei, para pengecut!” seru Pitung. “Kenapa kalian merampas harta orang lain? Pakai keroyokan lagi. Sendiri-sendiri kalau berani!”

Pemimpin centeng menoleh kepada Pitung dan tersenyum merendahkan.

“Hai, kamu tidak tahu siapa kami ini ya? Pantas saja kamu berani membentak-bentak seperti itu.”

“Cuih!” Pitung meludah dengan marah. “Kalian hanya berani mengeroyok orang yang lemah. Sini, kalau berani bertarung melawanku.”

Pemimpin centeng itu menjadi geram. Ia menyerang Pitung sekenanya saja, mengira bahwa Pitung akan mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya ke tanah hingga pingsan. Centeng-centeng yang lain menghentikan kesibukan mereka dan mengepung Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima centeng yang mengeroyoknya. Satu demi satu ia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka menggotong pimpinan centeng yang masih pingsan dan melarikan diri.

Sebelum pergi, mereka mengancam: “Awas, nanti kami laporkan Demang.”

Beberapa hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi buah bibir di seluruh Kebayoran. Namun, Pitung tak mau congkak. Ia bahkan menghindar kalau ada orang yang bertanya kepadanya tentang kejadian itu.

Suatu hari, Pak Piun menyuruh Pitung menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak Piun sedang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pitung pun mengeluarkan dua ekor kambing dari kandang dan menuju ke Pasar Tanah Abang. Tanpa sepengetahuannya, ada seorang centeng yang membuntutinya. Centeng itu terus mengawasi Pitung ketika Pitung mengantongi uang hasil penjualan kambing. Bahkan ketika Pitung berjalan pulang dan singgah di sebuah mushola, orang itu tetap membuntutinya. Ketika Pitung melepas bajunya untuk mandi di sungai dan berwudhu, orang itu mencuri uang di saku baju Pitung.

Pitung sampai di rumah dan dimarahi ayahnya karena uang itu hilang. Dengan geram ia kembali ke Pasar Tanah Abang dan mencari orang yang telah mencuri uangnya. Setelah melakukan penyelidikan, ia menemukan orang itu. Orang itu sedang berkumpul dengan centeng-centeng lainnya di sebuah kedai kopi.

Pitung mendatanginya dan menghardik, “Kembalikan uangku!”

Para centeng itu tertawa.

Salah seorang berkata, “Kamu boleh ambil uang ini, tapi kamu harus menjadi anggota kami.”

“Cuh! Tak sudi aku jadi maling,” jawab Pitung dengan kasar.

Para centeng itu marah mendengar jawaban Pitung. Serentak mereka menyerbu Pitung. Namun, yang mereka hadapi adalah Si Pitung dari Kampung Rawabelong yang pernah menghajar enam orang centeng Babah Liem sendirian. Akibatnya, satu demi satu mereka kena tinju Si Pitung. Yang berani menggunakan senjata malah dimakan sendiri oleh senjata mereka.

Sejak hari itu, Si Pitung memutuskan untuk membela orang-orang yang lemah. Ia tak tahan lagi melihat penderitaan rakyat jelata, yang ditindas centeng-centeng tuan tanah dan dihisap oleh penjajah Belanda. Beberapa centeng yang pernah dihajarnya ada yang insyaf dan ia mengajak mereka untuk membentuk suatu kelompok. Bersama kelompoknya, ia merampoki rumah-rumah orang kaya dan membagi-bagikan harta rampasannya kepada orang-orang miskin dan lemah.

Nama Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Namun, pada saat yang bersamaan, muncul juga kelompok-kelompok lain yang ikut-ikutan merampok atas nama Si Pitung. Para tuan tanah dan orang-orang yang mengambil keuntungan dengan cara memihak Belanda menjadi tidak tenteram. Mereka mengadukan persoalan itu kepada pemerintah Belanda.

Penguasa penjajah di Batavia pun memerintahkan aparat-aparatnya untuk menangkap Si Pitung. Schout Heyne, kontrolir[3] Kebayoran, memerintahkan mantri polisi dan bek untuk mencari tahu di mana Pitung berada. Schout Heyne menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yang mau memberi tahu keberadaan si Pitung

Mengetahui dirinya menjadi buron, Pitung berpindah-pindah tempat, bahkan pernah sampai ke Marunda. Selama itu, ia tetap melaksanakan perampasan harta orang-orang kaya, para demang dan tuan tanah. Harta rampasan selalu ia berikan kepada rakyat yang lemah dan tertindas oleh penjajahan.

Namun, pada suatu hari, Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi. Waktu itu mereka akan merampok rumah seorang demang. Polisi sudah lebih dulu bersembunyi di sekitar rumah demang itu. Ketika kelompok Pitung tiba, polisi segera mengepung rumah itu. Pitung membiarkan dirinya tertangkap, sementara teman-temannya berhasil meloloskan diri. Ia dibawa ke penjara Grogol dan disekap di sana.

Namun, karena selalu memikirkan nasib rakyat, ia meloloskan diri lewat genteng pada suatu malam. Para penjaga menjadi panik karenanya.

“Wah, bagaimana ini? Ke mana si Pitung” tanya mereka kepada teman satu sel Pitung.

“Saya tak tahu. Pitung kan sakti. Dia bisa menghilang,” jawab teman satu sel Pitung.

Kabar bahwa Pitung lolos membuat kontrolir dan orang-orang kaya menjadi tidak tenteram lagi. Schout Heyne memerintahkan orang untuk menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Kedua orang itu disiksa agar memberitahukan di mana Si Pitung berada. Namun, keduanya bungkam. Akibatnya, mereka berdua pun dibui di Grogol.

Sementara itu, Pitung terus menjalankan kegiatannya. Namun, ia menjadi berpikir panjang ketika mendengar kabar bahwa ayah dan gurunya dibui polisi. Ia mengirim pesan bahwa ia bersedia menyerahkan diri bila kedua orang itu dibebaskan. Schout Heyne setuju.

Pada hari yang ditentukan, mereka membawa Haji Naipin ke tanah lapang. Pak Piun sudah lebih dulu dibebaskan. Di tanah lapang itu, sepasukan polisi menodongkan senjata kepada Haji Naipin. Pitung muncul sendirian. Schout Heyne menyuruh Pitung menyerah. Pitung meminta agar Haji Naipin dilepaskan dulu.

Setelah Haji Naipin dilepaskan, Pitung maju menghadapi Schout Heyne. Pasukan polisi kini membidikkan senjata mereka kepada Pitung.

“Huh, tertangkap juga kamu, Pitung!” dengus Schout Heyne dengan nada sombong.

“Iya, tapi nanti aku pasti akan lolos lagi. Dengan orang pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya mengandalkan anak buah, aku tidak takut,” jawab Pitung.

Schout Heyne menjadi marah. Ia mundur beberapa langkah dan memberi aba-aba agar pasukannya bersiap menembak. Haji Naipin yang masih ada di situ memprotes tindakan yang pengecut itu. Namun, sudah terlanjur, perintah menembak sudah diberikan, dan Pitung pun roboh bersimbah darah.

Pitung dimakamkan beberapa hari kemudian. Banyak rakyat yang turut mengiringi pemakamannya dan mendoakannya. Mereka akan selalu mengingat jasa Si Pitung, pembela dan pelindung mereka.

Beberapa bulan kemudian Schout Heyne dipecat dari jabatannya karena ia telah menembak orang yang tidak melawan ketika ditangkap.

***

Walaupun pada akhirnya si Pitung gugur oleh peluru pasukan Belanda, tetapi ia gugur sebagai pahlawan dan selalu dikenang oleh generasi selanjutnya. Kisah ini mengajarkan bahwa orang yang berani menegakkan kebenaran dan keadilan akan selalu berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sedangkan orang pengecut seperti Scout Heyne, yang menggunakan akal licik untuk menghadapi lawan, pada akhirnya akan memperoleh balasan dari kelicikannya.

Kisah tentang si Pitung berkembang menjadi cerita rakyat (folklore) dengan berbagai versi. Kemudian, selain dikisahkan ulang secara tercetak melalui buku dan majalah, kisah si Pitung juga diproduksi menjadi film yang selalu laris, seperti Titisan Si Pitung (1989-sutradara Tommy Burnama) dan Pitung 3: Pembalasan Si Pitung Ji’ih (1977-sutradara Nawi Ismail).

Pada tahun 1982, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli sebuah rumah di Teluk Jakarta, Marunda, yang dipercaya sebagai rumah si Pitung. Namun, menurut Jakarta Post (23/10/1999), rumah itu sebenarnya milik Syafiudin, yang merupakan salah satu korban Si Pitung. Walaupun demikian, hal ini tetap membuktikan bahwa Si Pitung telah dianggap sebagai tauladan yang penting bagi masyarakat.

(AI/sas/1/06-09)

Isi cerita diadaptasi dari:

    Rahmat Ali, 1993. Cerita Rakyat Betawi. Jakarta: Grasindo
    -------, “Legend surrounds Jonker, Si Pitung,” di http://www.thejakartapost.com/, diakses pada 16 Juni 2009
    -----, “Si Pitung”, di http://www.jagoan.or.id/, diakses pada 16 Juni 2009

Sumber: Buku 366 Cerita Rakyat Nusantara, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa bekerja sama dengan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2008.

[1] Centeng: pendekar.

[2] Partikelir: perusahaan swasta.

[3] Kontrolir: pemimpin pemerintahan daerah pada masa penjajahan Belanda.
TOP

Roro Jonggrang

Wonosobo, 17/02/2013 Roro Jonggrang adalah putri dari Prabu Baka dari Kerajaan Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Roro Jonggrang memiliki paras yang cantik jelita. Suatu ketika, ia dilamar oleh seorang kesatria yang bernama Bondowoso dari Kerajaan Pengging. Roro Jonggrang bersedia menerima lamaran itu, asalkan Bondowoso mampu membuatkan seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu semalam. Mampukah Bondowoso memenuhi syarat yang diajukan oleh Roro Jonggrang tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Roro Jonggrang berikut ini! 

* * *

Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada seorang raja yang bernama Prabu Baka yang bertahta di Prambanan. Ia seorang raksasa yang menakutkan dan memiliki kesaktian yang tinggi. Wilayah kekuasaannya sangat luas. Kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayahnya semua takluk di bawah kekuasaannya. Meskipun seorang raksasa, Prabu Baka mempunyai seorang putri cantik yang berwujud manusia bernama Roro Jonggrang. Prabu Baka sangat menyayangi putri tunggalnya itu. Sebagai wujud kasih sayangnya kepada putrinya, ia mewariskan seluruh kesaktian dan kepandaian yang dimilikinya. Maka jadilah Roro Jonggrang seorang putri yang cantik jelita dan sakti mandraguna.

Sementara itu di tempat lain, tersebutlah sebuah kerajaan yang tak kalah besarnya dengan Prambanan, yakni Kerajaan Pengging. Kerajaan itu memiliki seorang kesatria yang sakti bernama Bondowoso. Kesaktian Bondowoso terletak pada senjatanya yang bernama Bandung. Selain itu, Bondowoso juga mempunyai balatentara berupa makhluk-makhluk halus. Jika membutuhkan bantuan, Bondowoso mampu mendatangkan makhluk-makhluk halus tersebut dalam waktu sekejap.

Suatu ketika, Raja Pengging bermaksud memperluas wilayah kekuasaannya. Ia pun memerintahkan Bondowoso dan pasukannya untuk menyerang Prambanan.

“Hai, Bondowoso! Siapkan pasukanmu untuk pergi menyerang Prambanan!” perintah Raja Pengging.

“Baik, Gusti! Perintah segera hamba laksanakan!” jawab Bondowoso sambil memberi hormat.

Keesokan harinya, berangkatlah Bondowoso bersama pasukannya ke Prambanan. Setibanya di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana. Prabu Baka pun tidak tinggal diam. Ia segera memerintahkan pasukannya untuk menahan serangan pasukan Bondowoso yang datang secara tiba-tiba. Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi. Namun karena pasukan Prabu Baka kurang persiapan dalam pertempuran itu, akhirnya pasukan Bondowoso berhasil menaklukkan mereka. Prabu Baka sendiri tewas terkena senjata sakti Bandowoso yang bernama Bandung. Sejak itu, Bondowoso pun dikenal dengan nama Bandung Bondowoso.

Setelah Bandung Bondowoso dan pasukannya memenangkan pertempuran itu, Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso untuk menempati istana Prambanan.

“Wahai, Bandung Bondowoso! Sebagai ucapan terima kasihku atas keberhasilanmu mengalahkan Prabu Baka, aku memberimu amanat untuk mengurus Kerajaan Prambanan dan segala isinya, termasuk keluarga Prabu Baka,” kata Raja Pengging.

“Terima kasih, Gusti! Hamba berjanji untuk menjaga amanat Gusti,” jawab Bandung Bondowoso.

Setelah itu, Bandung Bondowoso pun segera menempati istana Prambanan. Pada saat hari pertama menempati istana Pramabanan, ia langsung terpesona melihat kecantikan Roro Jonggrang dan berniat untuk menjadikannya sebagai permaisuri.

Pada suatu hari, Bandung Bondowoso menyatakan maksud hatinya kepada Raja Jonggrang.

“Wahai, putri Roro Jonggrang! Bersediakah engkau menjadi permaisuriku?” tanya Bandung Bondowoso.

Roro Jonggrang tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia hanya terdiam dan kebingungan. Sebenarnya, ia amat membenci Bandung Bondowoso karena telah membunuh ayahnya. Namun, ia takut menolak lamarannya karena bagaimana pun juga ia tidak akan sanggup mengalahkan kesaktian Bondowoso. Setelah berpikir sejenak, Roro Jonggrang pun menemukan satu cara untuk menolak lamaran itu dengan cara yang halus.

“Baiklah, Bandung Bondowoso! Aku bersedia menerima lamaranmu, tapi kamu harus memenuhi satu syaratku,” jawab Roro Jonggrang.

“Apakah syaratmu itu, Roro Jonggrang?” tanya Bandung Bondowoso.

“Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu semalam,” jawab Roro Jonggrang.

Tanpa berpikir panjang, Bandung Bondowoso pun menyanggupinya, karena ia yakin mampu memenuhi syarat itu dengan bantuan balantentaranya. Pada malam harinya, Bandung Bondowoso mengundang balatentaranya yang berupa makhluk halus tersebut. Dalam waktu sekejap, balatentaranya pun datang dan segera membangun candi dan sumur sebagaimana permintaan Roro Jonggrang. Mereka bekerja dengan sangat cepat. Pada dua pertiga malam, mereka hampir menyelesaikan seribu candi. Hanya tinggal tiga buah candi dan sebuah sumur yang belum mereka selesaikan.

Roro Jonggrang yang ikut menyaksikan pembuatan candi itu mulai khawatir. Ia pun segera memberitahukan hal itu kepada salah seorang dayang kepercayaannya.

“Dayang! Pembangunan seribu candi dan penggalian dua buah sumur tersebut hampir selesai. Apa yang harus kita lakukan?” tanya Roro Jonggrang kepada dayang itu.

“Tenanglah, Gusti! Pasti ada jalan keluarnya,” hibur dayang itu.

Roro Jonggrang kembali berpikir keras dan ia pun menemukan jalan keluarnya. Ia akan membuat suasana menjadi seperti pagi, sehingga para makhluk halus tersebut menghentikan pekerjaannya sebelum menyelesaikan seribu candi.

“Dayang! Segera bangunkan teman-temanmu! Suruh mereka membakar jerami dan menumbuk padi di lesung, serta menaburkan bunga-bunga yang harum baunya!” perintah Roro Jonggrang.

“Baik, Gusti!” jawab dayang itu seraya bergegas masuk ke dalam istana membangunkan dayang-dayang lainnya.

Dayang-dayang pun bangun dan segera melaksanakan perintah Roro Jonggrang. Tak berapa lama, tampaklah cahaya kemerah-merahan dari arah timur akibat dari pemakaran jeramih. Suara lesung pun terdengar bertalu-talu. Bau harum bunga-bungaan mulai tercium. Beberapa saat kemudian, suara ayam jantan berkokok mulai terdengar. Para balatentara Bandung Bondowoso pun segera menghentikan pekerjaannya, karena mengira hari sudah pagi. Mereka pergi meninggalkan tempat pembuatan candi tersebut, padahal kurang sebuah candi lagi yang belum mereka selesaikan. Batu-batu berukuran besar masih berserakan di tempat itu.

Melihat balatentaranya akan kembali ke alamnya, Bandung Bondowoso berteriak dengan suara keras.

“Teman-teman, kembalilah! Hari belum pagi. Genapkan seribu candi. Tinggal sebuah candi lagi!” teriak Bandung Bondowoso.

Para makhluk halus tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Akhirnya, Bandung Bondowoso berniat meneruskan pembangunan candi itu untuk menggenapi seribu candi. Namun belum selesai candi itu ia buat, pagi sudah menjelang. Ia pun gagal memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Mengetahui kegagalan Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang segera menemuinya di tempat pembuatan candi itu.

“Bagaimana Bandung Bondowoso? Apakah candiku sudah selesai?” tanya Roro Jonggrang sambil tersenyum.

Betapa marahnya Bandung Bondowoso melihat sikap Roro Jonggrang itu. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa Roro Jonggranglah yang telah menggagalkan usahanya. Ia pun melampiaskan kemarahannya dengan mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca.

“Hai, Roro Jonggrang! Kamu telah menggagalkan usahaku untuk mewujudkan seribu candi yang kurang satu lagi. Jadilah kau arca dalam candi yang keseribu!” teriak Bandung Bondowoso.

Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, seketika itu pula Roro Jonggrang berubah menjadi arca batu. Wujud arca itu sangat cantik, secantik Roro Jonggrang. Hingga kini, arca itu dapat disaksikan di dalam ruang candi besar yang bernama Candi Roro Jonggrang yang berada dalam kompleks Candi Prambanan. Sementara candi-candi yang ada di sekitarnya disebut dengan Candi Sewu. Sewu dalam bahasa Jawa berarti seribu.

* * *

Demikian cerita Roro Jonggrang dari Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita atas adalah akibat yang ditimbulkan dari sifat curang dan licik. Sifat ini tampak pada kelicikan Roro Jonggrang dalam menggagalkan usaha Bandung Bondowoso membangun seribu candi agar tidak menikahinya. Akibatnya, ia pun dikutuk menjadi arca oleh Bandung Bondowoso. Dalam tunjuk ajar Melayu dikatakan:

apa tanda orang yang licik,

janji mungkir cakap berbalik



kalu suka bersifat curang,

alamat kepala dimakan parang

(Samsuni/sas/139/04-09)



Diceritakan kembali oleh Samsuni



Sumber:

-      Isi cerita diadaptasi dari Daryatun. 2008. 366 Cerita Rakyat Nusantara. Yogyakarta: Adicita bekerja sama dengan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).

-       Anonim. “Daerah Istimewa Yogyakarta,” http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta, diaskes pada tanggal 27 April 2009.

-       Tenas Effendy, 1994/1995. “Ejekan” terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru: Bappeda Tingkat I Riau.
TOP

Legenda Kawah Sikidang Dieng

Wonosobo, 17/02/2013. Di sejumlah desa di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, banyak anak asli Dieng yang memiliki rambut gembel atau gimbal. Oleh karena itu, anak-anak tersebut biasa dipanggil sebagai anak gembel. Rambut gimbal itu terjadi ketika mereka berumur 40 hari sampai sekitar enam tahun yang diawali dengan gejala demam yang sangat tinggi dan suka mengigau saat tidur. Uniknya, rambut gimbal itu baru boleh dipotong setelah adanya permintaan dari anak itu sendiri. Ada beberapa versi mengenai asal mula anak gembel ini, salah satu di antaranya adalah versi cerita rakyat yang dikenal dengan Legenda Kawah Sikidang. Berikut kisahnya.

* * *

Ratusan tahun yang silam, di Dataran Tinggi Dieng ada seorang putri cantik jelita nan rupawan bernama Shinta Dewi. Ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi taman bunga yang indah. Kecantikan Shinta Dewi mengundang decak kagum bagi setiap pangeran yang melihatnya. Banyak pangeran yang sudah melamarnya, namun tidak ada satu orang pun yang sanggup mendapatkannya karena Shinta Dewi meminta mas kawin yang jumlahnya sangat banyak.

Suatu ketika, seorang pangeran yang kaya-raya bernama Kidang Garungan bermaksud melamar Shinta Dewi. Sang Pangeran merasa bahwa dengan harta kekayaannya, ia dapat memenuhi mas kawin yang diminta oleh sang Putri. Maka, ia pun mengutus beberapa orang pengawalnya untuk menyampaikan lamarannya kepada Shinta Dewi.

“Sampaikan lamaranku kepada Putri Shinta Dewi,” titah Pangeran Kidang kepada para pengawalnya. “Katakan kepadanya bahwa aku sanggup memenuhi berapa pun mas kawin yang dia minta.”

“Baik, Pangeran! Perintah Pangeran segera hamba laksanakan,” jawab salah seorang utusan seraya berpamitan.

Setiba di kediaman Shinta Dewi, para utusan Pangeran Kidang Garungan segera menyampaikan lamaran tuan mereka mereka kepada sang Putri.

“Ampun, Tuan Putri! Kami adalah utusan Pangeran Kidang Garungan. Kedatangan kami ke mari adalah untuk menyampaikan lamaran beliau kepada Tuan Putri,” kata salah seorang utusan.

“Hai, utusan Pangeran Kidang! Berapa banyak mas kawin yang disanggupi tuan kalian untuk melamarku?” tanya Putri Shinta Dewi.

“Ampun, Tuan Putri! Pangeran kami memiliki harta kekayaan yang melimpah. Berapa pun mas kawin yang Tuan Putri minta, pangeran kami bersedia memenuhinya,” jawab utusan itu.

Mendengar keterangan itu, Putri Shinta Dewi terdiam sejenak sambil membayangkan wajah Pangeran Kidang Garungan.

“Dia seorang pangeran yang kaya raya. Aku yakin, pastilah ia tampan dan gagah perkasa,” pikirnya

Putri Shinta Dewi akhirnya menerima lamaran Pangeran Kidang Garungan. Sementara itu, para utusan segera kembali untuk menyampaikan berita gembira tersebut kepada sang Pangeran. Alangkah senangnya hati Pangeran Kidang Garungan mendengar berita tersebut. Ia pun segera memerintahkan para pejabat istana untuk mengadakan persiapan kunjungan ke istana Putri Shinta Dewi dalam rangka membahas rencana pernikahannya.

“Wahai para pejabat istana, tolong siapkan segala sesuatunya, termasuk mas kawin yang diminta oleh Putri Shinta Dewi,” perintah Pangeran Kidang Garungan. “Besok pagi-pagi sekali, kita berangkat bersama-sama menuju ke istana sang Putri.”

Mendengar perintah itu, para pejabat dan seluruh isi istana tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ada yang sibuk menyiapkan mas kawin berupa emas, intan, dan berlian. Sebagian yang lain sibuk menyiapkan berbagai macam hadiah lainnya untuk sang Putri. Sementara itu, beberapa pengawal menyiapkan kuda yang akan dikendarai oleh Pangeran Kidang Garungan.

Keesokan harinya, Pangeran Kidang Kidang Garungan bersama rombongannya pun berangkat ke istana Putri Shinta Dewi. Setiba di sana, mereka disambut meriah oleh sang Putri dengan aneka hiburan. Namun, ketika bertemu dengan Pangeran Kidang Garungan, sang Putri tersentak kaget karena sang Pangeran ternyata bukanlah pria tampan seperti yang ada dalam bayangannya.

“Oh, Tuhan. Mampuslah aku,” ucap Putri Shinta Dewi, “Ternyata, pangeran itu bertubuh manusia tapi berkepala kidang[1]!”

Putri Shinta Dewi merasa amat kecewa. Namun, nasi telah menjadi bubur. Ia sudah terlanjur menerima lamaran Pangeran Kidang Garungan. Sang Putri sudah berusaha ingin menerimanya, tapi hatinya tetap menolak. Maka, ia pun berpikir keras untuk mencari jalan keluar agar pernikahannya dengan pangeran berwajah kijang itu batal. Sebelum pernikahan dilaksanakan, ia memberikan satu syarat yang amat berat kepada Pangeran Kidang Garungan.

“Ketahuilah, Pangeran! Kami yang tinggal di daerah ini amat kesulitan mendapatkan air untuk keperluan sehari-hari. Maka itu, Dinda ingin dibuatkan sebuah sumur yang besar dan dalam. Dinda tidak mau menikah dengan Kanda sebelum sumur itu selesai,“ pinta Putri Shinta Dewi, “Tapi, pembuatan sumur itu harus dikerjakan sendiri oleh Pangeran dalam waktu sehari.”

Dengan syarat yang berat itu, Putri Shinta Dewi berpikir bahwa sang Pangeran tidak mungkin bisa memenuhinya sehingga mereka pun batal menikah. Namun, di luar dugaannya, ternyata Pangeran Kidang Garungan memiliki kesaktian yang tinggi.

“Baiklah, Dinda. Kanda siap memenuhi syarat itu,” kata Pangeran Kidang Garungan.

Pada hari itu juga, sang Pangeran membuat sumur di sebuah tempat sepi yang telah ditunjuk oleh sang Putri. Dengan kesaktiannya, ia menggali tanah itu dengan tangannya sedikit demi sedikit. Sesekali ia menggunakan tanduknya untuk menggali tanah yang keras. Ia bekerja dengan cepat dan tanpa mengenal lelah. Ketika sumur itu hampir selesai, sang Putri pun mulai panik.

“Pangeran Kidang Gurangan ternyata sakti. Bagaimana jadinya jika ia benar-benar dapat menyelesaikan sumur itu?” gumam sang Putri, “Ah, tidak. Aku tidak mau menikah dengannya. Aku tidak akan membiarkan dia menyelesaikan sumur itu.”

Putri Shinta Dewi pun segera memerintahkan para pengawal dan dayang-dayangnya untuk menimbun sumur itu. Pangeran Kidang Garungan yang berada di dalamnya tidak sadar jika dirinya telah ditipu. Ia baru menyadari hal itu setelah kerukan-kerukan tanah menimpa dirinya. Ia pun berteriak agar sang Putri berhenti menimbun dirinya di dalam sumur itu.

“Putri, hentikan! Hentikan...!” teriaknya.

Semakin keras sang Pangeran berteriak, semakin cepat pula para pengawal dan dayang-dayang itu menimbuninya. Ketika seluruh tubuhnya telah tertimbun tanah, pangeran itu segera mengerahkan kesaktiannya agar bisa keluar. Tak ayal, sumur itu meledak sehingga tanah berhamburan keluar. Ketika ia ingin keluar, sumur itu terus ditumbuni. Akhirnya, Pangeran Kidang Garungan pun tewas tertimbun tanah di dalam sumur itu. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia bersumpah bahwa seluruh keturunan Shinta Dewi akan berambut gembel. Sementara itu, sumur yang meledak itu lama-kelamaan menjadi kawah yang dan diberi nama Kawah Sikadang.

* * *

Demikian cerita Legenda Kawah Sikadang dari Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Hingga kini, Kawah Sikidang masih aktif mengeluarkan uap panas yang mengandung belerang. Sementara itu, anak berambut gembel akibat kutukan Pangeran Kidang Garungan juga masih dapat kita temukan di daerah ini. Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa Putri Shinta Dewi menerima lamaran Pangeran Kidang Garungan bagai “membeli kucing dalam karung”. Akibatnya, timbullah penyesalan dan perasaan kecewa pada diri sang Putri sehingga mengakibatkan nyawa Pangeran Kidang Garungan melayang. Jadi, sebelum menerima lamaran seseorang sebaiknya kita teliti terlebih dahulu keturunan dan silsilah si pelamar, serta mengetahui atau melihat langsung bentuk fisiknya sehingga tidak menimbulkan rasa penyesalan di kemudian hari. (Samsuni/Sas/250/04-2011)
http://ceritarakyatnusantara.com